29 Mei 2011

Puasa Sunnah dan Manfaatnya

Setiap kewajiban memiliki nafilah (sunnah) yang dapat mempertahankan
keberadaan kewajiban tersebut serta menyempurnakan kekurangannya. Shalat
lima waktu misalnya, memiliki shalat-shalat sunnah baik sebelum atau
sesudahnya. Demikian juga dengan zakat, yang memiliki shadaqah sunnah. Haji
dan umrah merupakan hal yang wajib dikerjakan sekali seumur hidup, sedangkan
selebihnya adalah sunnah.

Puasa pun demikian, puasa wajib dikerjakan pada bulan Ramadhan sedangkan
puasa yang sunnah banyak sekali, di antaranya:
Puasa sunnah yang tidak pasti, seperti puasa bagi orang yang belum mampu menikah. Ada pula puasa
sunnah yang ditentukan misalnya puasa enam hari di bulan Syawwal. Keutamaan
puasa ini adalah bahwa siapa yang mengerjakan nya setelah puasa Ramadhan,
maka seakan-akan dia telah berpuasa sepanjang tahun.

Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang
bersumber dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari
di bulan Syawwal maka ia seperti berpuasa ad-dahar (sepanjang tahun)." (HR.
Muslim).

Selain puasa enam hari bulan Syawwal, masih ada puasa-puasa sunnah yang
lainnya, di antaranya adalah:

- Puasa Tiga Hari Setiap Bulan

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

"Tiga hari dalam setiap bulan (hijriyah), serta dari Ramadhan ke Ramadhan,
semua itu seolah-olah menjadikan pelakunya berpuasa setahun penuh." (HR.
Ahmad dan Muslim)

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengatakan bahwa kekasihnya (Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam) telah mewasiatkan tiga perkara kepadanya, di
antaranya adalah puasa selama tiga hari dalam setiap bulan.

Yang paling utama, puasa tiga hari tersebut dilakukan pada ayyamul bidh
(hari-hari putih/terang, yakni malam-malam purnama) pada tanggal 13, 14 dan
15 setiap bulannya. Dasarnya adalah hadits Abu Dzar radhiyallahu 'anhu bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Wahai Abu Dzar, jika engkau berpuasa tiga hari pada setiap bulan, maka
berpuasalah pada tanggal tiga belas, empat belas dan lima belas." (HR. Ahmad
dan an-Nasa'i di dalam as-Sunan)

- Puasa 'Arafah

Disebutkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
ditanya tentang puasa Arafah, beliau menjawab, "Dia (puasa Arafah)
menghapuskan dosa tahun yang lalu dan tahun yang akan datang."

Demikian pula disunnahkan berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah.

- Puasa Asyura'

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa Asyura'
(puasa tangggal 10 Muharram), maka beliau menjawab, "Dia menghapuskan dosa
tahun yang lalu."

Demikian pula secara umum puasa di bulan Muharrram, sebagaimana terdapat di
dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang puasa yang paling utama setelah
puasa Ramadhan, maka beliau menjawab,
"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah
al-Muharram."

- Puasa Bulan Sya'ban

Mengenai puasa bulan Sya'ban ini, telah disebutkan di dalam ash-Shahihain
dari Aisyah xberkata, "Aku tidak pernah melihat Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam berpuasa selama sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Dan aku
tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa seperti yang dilakukannya
pada bulan Sya'ban."

Disebutkan dalam riwayat yang lain, "Beliau banyak berpuasa pada bulan itu,
kecuali hanya sedikit hari-hari (beliau berbuka) di dalamnya.

- Puasa Senin Kamis

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada
hari Senin maka beliau bersabda,
"Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus sebagai Nabi, atau hari
diturunkannya al-Qur'an kepadaku."

Di dalam riwayat yang bersumber dari Aisyah radhiyallahu 'anha dia berkata,
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam senantiasa menjaga puasa Senin dan Kamis.
(HR. Lima Imam ahli hadits, kecuali Abu Dawud).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
"Amal-amal itu diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis, maka aku senang jika
amalku ditampakkan pada saat aku sedang berpuasa." (HR at-Tirmidzi)

- Puasa Nabi Dawud

Tentang puasa Nabi Dawud ini terdapat dalam riwayat al-Bukhari bahwa
Abdullah Ibnu Amr radhiyallahu 'anhu pernah berkata kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, "Demi Allah aku akan berpuasa pada siang hari dan bangun
pada malam hari terus menerus selama hidupku."

Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
maka beliau bersabda,
"Sesungguhnya engkau tidak akan mampu melakukan hal tersebut, karena itu
berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah, berpuasalah engkau tiga hari
dalam setiap bulannya, karena satu kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipat,
dan itu seperti puasa ad-Dahr (sepanjang tahun).

Tatkala mendengar jawaban dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ini
Abdullah Ibnu Amr radhiyallahu 'anhu berkata, "Sesungguhnya aka mampu
melakukan yang lebih baik daripada itu. Maka beliau bersabda, "Berpuasalah
satu hari dan berbukalah (tidak berpuasa) dua hari." Abdullah Ibnu Amr
radhiyallahu 'anhu menjawab, "Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih
baik daripada itu." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda,
"Berpuasalah satu hari dan berbukalah satu hari, yang demikian itu adalah
puasa Dawud, puasa tersebut adalah puasa yang paling baik."

Lalu Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhu berkata, "Sesungguhnya aku mampu
melakukan yang lebih baik daripada itu." Maka Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, "Tidak ada yang lebih baik daripada puasa tersebut."

PENGARUH PUASA SUNNAH

1. Puasa sunnah dapat dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri
kepada Rabb-Nya, karena membiasakan diri berpuasa di luar puasa Ramadhan
merupakan tanda diterimanya amal perbuatan, insya Allah. Hal ini karena
Allah subhanahu wata'ala jika menerima amal seorang muslim maka dia akan
memberikan petunjuk kepadanya untuk mengerjakan amal shalih setelahnya.

2. Puasa Ramadhan yang dikerjakan seorang muslim untuk Rabbnya dengan penuh
keimanan dan pengharapan pahala, akan menyebabkan seorang muslim mendapatkan
ampunan atas dosa-dosa sebelumnya. Orang yang yang berpuasa akan mendapatkan
pahala pada hari Idul Fithri, karena hari itu merupakan hari penerimaan
pahala. Maka puasa setelah berlalunya Ramadhan merupakan bentuk rasa syukur
terhadap nikmat ini, bagi hubungan seorang muslim dengan Rabbnya.

3. Puasa sunnah merupakan janji seorang muslim untuk Rabbnya bahwa ketaatan
itu akan terus berlangsung dan tidak hanya pada bulan Ramadhan saja, bahwa
kehidupan ini secara keseluruhannya adalah ibadah. Dengan demikian puasa itu
tidak berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadhan, tetapi puasa itu terus
disyari'atkan sepanjang tahun. Maha benar Allah subhanahu wata'ala yang
telah berfirman,
"Katakanlah, "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Rabb semesta alam." (QS. 6:162)

4. Puasa sunnah menjadi sebab timbulnya kecintaan Allah subhanahu wata'ala
kepada hamba-Nya serta sebab terkabulnya doa, terhapusnya
kesalahan-kesalahan, berlipatgandanya kebaikan kebaikan, tingginya derajat
serta sebab keberuntungan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan.

Puasa Makruh

Di antara puasa-puasa yang dimakruhkan adalah:


a.. Puasa Arafah bagi orang yang menunaikan ibadah haji.

b.. Puasa hari Jum'at saja.

c.. Puasa hari Sabtu saja.

d.. Puasa hari terakhir dari bulan Sya'ban, kecuali jika bertepatan dengan
puasa yang telah bisa dilakukan seperti puasa Senin Kamis.

e.. Puasa ad-Dahr, jika berbuka pada hari-hari yang diharamkan berpuasa.
Jika tetap berpuassa maka hukumnya adalah haram.


Puasa Yang Diharamkan

Di antara puasa yang dilarang adalah sebagai berikut:

a.. Puasa dua hari raya.

b.. Puasa hari-hari tasyriq

c.. Puasa saat haid dan nifas bagi wanita

d.. Puasa sunnah bagi wanita jika suami melarangnya.

e.. Puasa orang sakit yang jika berpuasa membahayakan dirinya.


Sumber (dengan meringkas):
1. Meraih Puasa Sempurna, Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, Pustaka
Ibnu Katsir.
2. Majelis Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Pustaka Imam
asy-Syafi'i. (kholif)
Netter Al-Sofwa yang dimuliakan Allah Ta'ala, Menyampaikan Kebenaran adalah
kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah
dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum
mengetahuinya.
Semoga Allah Ta'ala Membalas 'Amal Ibadah Kita. Aamiin

Waassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh



( http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatannur&id=356 )

ADAB MEMBACA AL - QUR ' AN

1. NIAT YANG IKHLAS KARENA ALLAH

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bersabda Nabi SAW : "Sesungguhnya
ALLAH SWT tidak memandang kepada bentuk tubuhmu dan tidak juga pada rupa wajahmu, tetapi IA memandang kepada keikhlasan hatimu." (HR Muslim)

Dari Mu'adz bin Jabal ra berkata : "Aku membonceng Nabi SAW yang sedang mengendarai Keledai, maka beliau SAW berkata padaku : Wahai Mu'adz, Tahukah anda apa hak ALLAH terhadap hamba dan apa hak hamba terhadap ALLAH ? Maka saya menjawab : ALLAH dan Rasul-NYA lebih mengetahui. Maka kata Nabi SAW : Hak ALLAH terhadap hamba adalah agar mereka beribadah kepada-NYA dan tidak menyekutukan-NYA sedikitpun. Dan hak hamba terhadap ALLAH adalah bahwa ALLAH tidak akan menyiksa hamba yang tidak menyekutukan kepada ALLAH sedikitpun." (HR
Muttafaq 'alaih)

2. BERWUDHU SEBELUM QIRO'AH

Seseorang memberi salam kepada Nabi SAW ketika beliau SAW sedang berwudhu maka beliau SAW menunda menjawab salam tersebut sampai beliau SAW selesai berwudhu' baru kemudian dijawab salamnya oleh beliau SAW, sambil bersabda :
Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk menjawab salammu tadi, melainkan karena aku tidak suka menyebut nama ALLAH, kecuali dalam keadaan suci." (HR Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'I dan Ibnu Majah)

3. MENGGUNAKAN SIWAK SEBELUM QIRO'AH

Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka
untuk bersiwak setiap akan shalat." (HR Bukhari dan Muslim)

4. MEMILIH TEMPAT/PAKAIAN YANG SUCI

Dari Anas bin Malik ra berkata bahwa Nabi SAW bersabda : "Bahwa mesjid
ALLAH tidak layak dikenai kencing atau kotoran manusia, karena Sesungguhnya ia adalah untuk berdzikir kepada ALLAH dan membaca Al-Qur'an." (HR Muslim)

5. MEMBACA ISTI'ADZAH

Maka apabila kamu membaca al-Qur'an maka mohonlah perlindungan dari
Syaithon yang terkutuk." (QS An-Nahl 16:98)

6. SUNNAH MEMBAGUSKAN SUARA

Barangsiapa yang tidak menghiasi al-Qur'an dengan suaranya maka bukan
termasuk golonganku." (HR Abu Daud)
Sungguh sebaik-baiknya suara manusia yang membaca al-Qur'an ialah yang
jika engkau mendengar suara bacaannya maka engkau merasa bahwa ia seorang yang sangat takut kepada Allah." (HR Abu Daud)

7. MERENDAHKAN SUARA SAAT MEMBACA TERUTAMA SAAT BERADA DITEMPAT YANG RAMAI

Dan serulah Rabb-mu dengan merendahkan diri dan merasa takut,
sesungguhnya IA tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS
Al-A'raaf, 7:55)

Dan sederhanakanlah berjalanmu dan rendahkanlah suaramu, karena
sesungguhnya sejelek-jelek suara itu adalah suara keledai." (QS Luqman, 31:19)

8. MERASA TAKUT DAN KHUSYU'

Dan apabila dibacakan dihadapan mereka ayat-ayat ALLAH, maka mereka
segera bersujud sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'. (QS Al-Israa',17:109)
Dari Ibnu Mas'ud ra berkata : Bersabda Nabi SAW padaku pada suatu hari
sbb : Wahai Ibnu Mas'ud, bacakan al-Qur'an untukku. Maka aku bertanya : Apakah aku akan membacakannya untukmu padahal al-Qur'an itu diturunkan kepadamu ? Jawab beliau SAW : Aku senang mendengarkannya dari orang lain. Maka kubacakan surat An-Nisaa' dihadapan beliau SAW, sampai ketika aku sampai pada ayat : Maka bagaimanakah keadaanmu hai Muhammad, saat KAMI mendatangkan setiap ummat dengan seorang saksi nanti dan KAMI datangkan engkau sebagai saksi atas mereka semua ?
(QS An-Nisaa' 4:41); Maka bersabdalah beliau SAW padaku : Cukup sampai disini hai Ibnu Mas'ud. Maka aku melirik pada wajah beliau SAW, maka kulihat wajahnya sudah penuh dengan linangan airmata. (HR Bukhari Muslim)

9. MERASAKAN BAHWA ALLAH SWT SEDANG MENDENGARKAN BACAANNYA

Dari Abu Hurairah ra berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda :
"Tiada sesuatupun yang lebih disenangi oleh ALLAH SWT melainkan mendengarkan bacaan seorang hamba-NYA yang merdu sedang membaca al-Qur'an dengan jelas." (HR Bukhari dan Muslim)

10. BERUSAHA MEMENUHI KAIDAH TAJWIDNYA, MEMAHAMI DAN MENGAMALKANNYA

Beliau SAW membaca al-Qur'an dengan perlahan, setiap bertemu dengan ayat tasbih beliau SAW bertasbih, setiap bertemu dengan ayat perlindungan beliau SAW berta'awwudz dan setiap bertemu dengan ayat pertanyaan, maka beliau SAW menjawabnya. (HR Muslim)

(Tafsir Ibnu Abbas ra atas QS Al-Furqaan, 25:30)


Wallahu a'lam .

27 Mei 2011

Hiburan Bagi Yang Tertimpa Musibah

Berikut adalah beberapa nasehat dari ayat al Qur’an, hadits dan perkataan ulama yang semoga bisa menghibur setiap orang yang sedang mengalami musibah.

Musibah Terasa Ringan dengan Mengingat Penderitaan yang Dialami Orang Sholih

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لِيَعْزِ المسْلِمِيْنَ فِي مَصَائِبِهِمْ المصِيْبَةُ بي

“Musibah yang menimpaku sungguh akan menghibur kaum muslimin.”[1]

Dalam lafazh yang lain disebutkan.

مَنْ عَظَمَتْ مُصِيْبَتُهُ فَلْيَذْكُرْ مُصِيْبَتِي، فَإِنَّهَا سَتَهَوَّنُ عَلَيْهِ مُصِيْبَتُهُ

“Siapa saja yang terasa berat ketika menghapi musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku. Ia akan merasa ringan menghadapi musibah tersebut.”[2] Ternyata, musibah orang yang lebih sholih dari kita memang lebih berat dari yang kita alami. Sudah seharusnya kita tidak terus larut dalam kesedihan.

Semakin Kuat Iman, Memang Akan Semakin Terus Diuji

Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »

“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.”[3]

Di Balik Musibah, Pasti Ada Jalan Keluar

Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5)

Ayat ini pun diulang setelah itu,

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Kata al ‘usr (kesulitan) menggunakan alif-lam dan menunjukkan umum (istigroq) yaitu segala macam kesulitan. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana pun sulitnya, akhir dari setiap kesulitan adalah kemudahan.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً

“Bersama kesulitan, ada kemudahan.”[5]

Merealisasikan Iman adalah dengan Bersabar

‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,

الصَّبْرُ مِنَ الإِيْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الجَسَدِ، وَلَا إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَبْرَ لَهُ.

“Sabar dan iman adalah bagaikan kepala pada jasad manusia. Oleh karenanya, tidak beriman (dengan iman yang sempurna), jika seseorang tidak memiliki kesabaran.”[6]

Musibah Awalnya Saja Terasa Sulit, Namun Jika Bersabar akan Semakin Mudah

Hudzaifah ibnul Yaman mengatakan,

إِنَّ اللهَ لَمْ يَخْلُقْ شَيْئاً قَطٌّ إِلاَّ صَغِيْراً ثُمَّ يَكْبَرُ، إِلاَّ المصِيْبَة فَإِنَّهُ خَلَقَهَا كَبِيْرَةً ثُمَّ تَصْغُرُ.

“Sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan sesuatu melainkan dari yang kecil hingga yang besar kecuali musibah. Adapun musibah, Allah menciptakannya dari keadaan besar kemudian akan menjadi kecil.”[7] Allah menciptakan segala sesuatu, misalkan dalam penciptaan manusia melalui tahapan dari kecil hingga beranjak dewasa (besar) semacam dalam firman Allah,

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا

“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua.” (QS. Ghofir: 67)

Namun untuk musibah tidaklah demikian. Musibah datang dalam keadaan besar, yakni terasa berat. Akan tetapi, lambat laut akan menjadi ringan jika seseorang mau bersabar.

Bersabarlah Di Awal Musibah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى

“Yang namanya sabar seharusnya dimulai ketika awal ditimpa musibah.”[8] Itulah sabar yang sebenarnya. Sabar yang sebenarnya bukanlah ketika telah mengeluh lebih dulu di awal musibah.

Pahala Orang yang Mau Bersabar Tanpa Batas

Ingatlah janji Allah,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10). Al Auza’i mengatakan bahwa ganjarannya tidak bisa ditakar dan ditimbang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa pahala bagi orang yang bersabar tidak bisa dihitung sama sekali, akan tetapi ia akan diberi tambahan dari itu. Maksudnya, pahala mereka tak terhingga. Sedangkan As Sudi mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar adalah surga.[9]

Akan Mendapatkan Ganti yang Lebih Baik

Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا ». قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّىَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِى خَيْرًا مِنْهُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah ang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.” Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[10]

Do’a yang disebutkan dalam hadits ini semestinya diucapkan oleh seorang muslim ketika ia ditimpa musibah dan sudah seharusnya ia pahami. Insya Allah, dengan ini ia akan mendapatkan ganti yang lebih baik.

Semoga yang mendapati musibah semakin ringan menghadapinya dengan sedikit hiburan ini. Semoga kita selalu dianugerahi kesabaran dari Allah Ta’ala.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


Diselesaikan pada malam 11 Muharram 1431 H di Panggang-Gunung Kidul (kediaman mertua tercinta)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

[1] Shahih Al Jami’, 5459, dari Al Qosim bin Muhammad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[2] Disebutkan dalam Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, Ibnu ‘Abdil Barr, hal. 249, Mawqi’ Al Waroq.

[3] HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[4] Taisir Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 929, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H

[5] HR. Ahmad no. 2804. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[6] Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, hal. 250.

[7] Idem.

[8] HR. Bukhari no. 1283, dari Anas bin Malik.

[9] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/89, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.

[10] HR. Muslim no. 918.